Temuan 10 bundel uang kertas pecahan Rp 100.000 yang bernilai total
Rp 100 juta tidak mampu menggoda Agus Chaerudin (35) untuk silap dan
mengambil apa yang bukan menjadi haknya. Uang sebanyak itu langsung
dia kembalikan tanpa sedikit pun dikorupsi.
Agus bukanlah
pegawai tingkat atas. Ia pegawai rendah Bank Syariah Mandiri (BSM)
Kantor Cabang Pembantu (KCP) Kalimalang, Plaza Duta Permai,
Jakasampurna, Bekasi Selatan, Kota Bekasi, Jawa Barat. Namun, ia
memberikan keteladanan yang luar biasa di tengah maraknya korupsi yang
dilakukan pejabat negara.
Karena dianggap bertindak terpuji, Agus
pun dianugerahi piagam penghargaan dari BSM Cabang Bekasi saat acara
kumpul bersama di area wisata di Ciloto, Cianjur, Jawa Barat, pada
2012. Selain sertifikat, Agus juga dihadiahi uang Rp 1,75 juta dari
pimpinan BSM se-Bekasi Raya.
Tindakan Agus juga mendapat
apresiasi dari BSM Pusat. Dalam Gathering Ke-13 BSM di Dunia Fantasi,
Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta Utara, Minggu (16/12/2012), Agus
dianugerahi piagam penghargaan.
”Alhamdulillah, saya tidak
mengambilnya karena tidak barokah. Itu bukan rezeki halal kalau saya
ambil,” kata Agus kepada Kompas, dengan suara bergetar, mata berlinang,
tetapi terpancar aura kebahagiaan.
Agus merasa cukup bahagia
bekerja sebagai pegawai rendah dalam manajemen Koperasi Karyawan BSM
dengan penempatan di KCP Kalimalang.
"Tidak apa-apa saya jadi pesuruh, yang penting hasilnya halal,” katanya.
Penghasilannya
sekitar Rp 2,9 per bulan ia syukuri karena bisa menghidupi istri,
Elis Nurjamilah (34), dan ketiga anaknya, Hilman Faturrahman (13), Gina
Fatimah Zahroh (8), dan Syifa Robiatul Adawiyah (3). Agus dan Elis
menikah pada 1999.
Memungut sampah
Kejadian
berawal saat Agus hendak memunguti sampah. Saat itu bulan puasa,
tepatnya 4 Agustus 2011 pukul 17.30. Pegawai BSM KCP Kalimalang sudah
pulang, kecuali Agus dan seorang petugas satpam.
Ia menemukan 10
bundel uang berada di lantai, menumpuk di belakang tempat sampah bagian
teller. Uang itu tidak terbungkus apa pun.
Tanpa banyak pikir,
Agus langsung berteriak memanggil petugas satpam dan menyerahkan
seluruh uang yang ditemukannya itu. Agus dan petugas satpam lalu
menghubungi staf dan pimpinan KCP yang lantas tergopoh-gopoh datang.
Uang
temuan Agus itu dihitung ulang, dan tepat Rp 100 juta, pembukuan dicek
ulang dan ternyata ada kekeliruan. Uang itu bukan milik nasabah,
melainkan milik BSM yang tergeletak karena keteledoran bagian teller
dan untungnya diselamatkan oleh Agus.
Sebelum mengabdi di BSM,
Agus bekerja sebagai pegawai rendah berstatus alih daya pada Usaha
Gedung Bank Dagang Negara di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat.
Dia
mulai bekerja setelah menamatkan pendidikan di SMEA Pusaka Nusantara 1
Jakarta Timur atas bantuan ayahanda yang juga pegawai rendah di Usaha
Gedung Bank Dagang Negara.
Sebelum bekerja di kantor, Agus
mengaku pernah menjadi tenaga pencuci piring dan penjual nasi goreng.
Ia juga pernah bekerja sebagai pencuci gelas bekas minuman jamu di
Klender, Jakarta Timur.
Saat di SMEA, Agus juga pernah berjualan air minum dalam kemasan dan mengecer dompet di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur.
”Saya
juga pernah ditendang satpol PP, tetapi itulah hidup. Saya jualan di
Asrama Haji dengan harapan suatu saat bisa seberuntung mereka, naik
haji,” katanya.
Sederhana
Kini Agus dan
keluarga menghuni rumah petak sederhana pemberian orangtua di Kampung
Curug Raya, Jaticempaka, Pondok Gede, Kota Bekasi. ”Maaf, rumah kami
kecil,” kata Elis saat ditemui, Selasa (18/12/2012).
Pagi itu
Elis sedang mencuci baju di depan rumahnya. Anaknya, Hilman, bersekolah,
sedangkan Gina menikmati nasi goreng, duduk di samping Syifa yang
terbaring.
Ketika ditanya apakah ia pernah mendapat cerita bahwa
suaminya menemukan uang banyak tetapi mengembalikannya, Elis pun hanya
tersenyum dan mengangguk. Baginya, tindakan Agus adalah kebahagiaan.
”Sebenarnya
apa yang dilakukan suami saya itu biasa. Masa sih layak diberitakan ke
publik,” kata Elis yang sehari-hari juga menjadi guru mengaji sukarela
anak-anak di Mushala Al-Misaniyah di seberang rumah.
Elis memang
mengenal Agus sebagai sosok lelaki yang polos, jujur, dan taat
beribadah. Sang suami adalah lelaki yang sabar, penyayang saudara, dan
rela berkorban.
Sepengetahuannya, selepas SMEA pun Agus menolak
kuliah demi meringankan beban ekonomi keluarga dan mendorong
adik-adiknya berpendidikan lebih tinggi.
Kini Elis dan Agus pun
masih menyimpan ambisi untuk menempuh pendidikan lanjutan. Mereka hanya
bercita-cita bisa menyekolahkan anak-anak mereka setinggi-tingginya
sebagai bekal hidup kelak.
”Kami pasti akan banting tulang demi memastikan pendidikan anak-anak terpenuhi,” katanya.
Impian
Agus dan Elis kini adalah menunaikan ibadah haji. ”Semoga, sebelum
dipanggil Allah, kami bisa menunaikannya,” kata Elis.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar